Sosok Pahlawan
Blogger - Sosok pahlawan semakin kabur. Semakin berumur, yang namanya pahlawan selalu bergeser, dari yang jagoan menjadi yang kreatif. Dari Achilles menjadi Ranchodas Salamadhas Chancad. Dari yang selalu menang sampai yang selalu bisa menerima kekalahan dengan tertawa. Salah satunya adalah solderman. Bukan spiderman bukan superman...
Mungkin Anda pernah membaca di kompasiana. Cerita tersebut memang saya ikutkan lomba memperingati 17 Agustus dan kalah. Sekali lagi, kami tertawa...
Mungkin Anda pernah membaca di kompasiana. Cerita tersebut memang saya ikutkan lomba memperingati 17 Agustus dan kalah. Sekali lagi, kami tertawa...
Menang atau kalah itu ...
Seringkali cuma masalah selera juri dan kategori. Keduanya teraduk pekat hingga susah melihat mana yang dominan. Namun yang pasti, kekalahan bukan akhir dari udara dan sinar matahari. Seperti sebait nyanyian Joy Lobo,"...give me some sunshine, give me some rain. Give me another chance to grow up once again..." Seperti rumput liar, walaupun dicabuti dia akan tumbuh dan tumbuh lagi. Walaupun wedus gembel menghalagi sinar matahari, bukan berarti matahari berhenti bersinar.
Soal sosok pahlawan...
Ini subjektif. Bisa juga objektif, sebab setiap manusia mempunyai common sense. Pengertian dan kesepakatan bersama tentang sesuatu. Seperti kentut, semua orang sepakat bahwa secantik apapun artis, kentutnya pasti bauk. Demikian juga soal pahlawan, ada yang diakui negara ada yang tidak. Itu urusannya negara. Sebab negara yang punya kategorisasi sendiri. Lain Anda, lain pula saya. Entah mengapa, saya lebih suka sosok pahlawan yang aplikatif seperti solderman.
Siapa Solderman. Ini dia tulisan yang sempat dimuat di kompasiana...
Setiap Jumat, dia datang. Tidak tentu, kadang pagi, kadang siang. Jarak rumahnya ke rumahku sekitar empat belas kilometer, ditempuhnya dengan bersepeda. Sebuah tas pinggang ukuran sedang, selalu menggantung di pinggangnya. Isinya beragam, ada obeng, catut, timah, dan tak ketinggalan solder. Itu yang membuatku memanggilnya dengan sebutan “Solderman”.
Bulan ini, dia tidak muncul lagi. Tidak ada kabar. Agak susah berkomunikasi dengannya, sebab dia belum punya telepon. Seringkali terjadi, cukup dengan berharap dia datang, biasanya beberapa jam kemudian dia sudah teriak-teriak di depan pintu pagar rumahku. “Dus, wedus. Bukakno lawange, Dus!” (baca: Mbing kambing. Bukakan pintunya, Mbing )
Dia menjuluki aku kambing, sebab aku brewokan. “Brewok bisa menjadi lambang kemalasan dan kemiskinan, sebab tak mau bercukur dan tak mampu beli silet cukur.” Kelakar sinis itu membuat kami tertawa. Tepatnya, menertawai diri sendiri. Entah mengapa, kami suka menertawai diri sendiri. Apalagi kalau gagal mengerjakan sesuatu. Namun aku kagum pada solderman, dia begitu cermat dan telaten memelototi komponen dan ratusan kabel yang salah arah. Walapun sebuah show dangdut sedang berlangsung di lapangan, dia tidak ragu-ragu untuk memanjat sound system setinggi lima meter hanya untuk menyambung kabel yang terlepas. Tidak salah aku menyebutnya “Solderman.”
Solderman memang bukan Superman, yang bisa langsung meringkus kaki tangan Lex Luthor dengan sekali hantam. Dia juga bukan Juwita, si peri baik hati yang langsung mendatangkan tank untuk menggilas si Sirik karena suka menyebar kulit pisang di sekitar taman bermain . Solderman hanya bisa menghidupkan TV yang mati, baling-baling kipas angin berputar kembali, mengganti lampu dalam LCD yang mati suri, batere lap top jadi nonstop, dan membuat sound system makin enak di telinga.
Solderman bukan sosok pahlawan populer. Tidak pernah diberi tepuk tangan, karena dia selalu ada di balik layar, berpakaian dekil, dan tenggelam di belakang aneka alat elektronik, hanya sesekali berkeliling untuk memeriksa speaker mana yang mati.
Dulu waktu aku pertama kali ke rumahnya, ada tetangganya muncul, sembari berkacak pinggang si tetangga bilang, “ Mas, kipas ini muternya terlalu kencang. Anak saya masuk angin.” Dengan sabar, solderman memintanya menunggu. Sepuluh menit kemudian ia kembali sambil menenteng benda itu. “Silakan dicoba, Mas.” Si tetangga itupun tersenyum puas. Hanya tersenyum puas, tanpa sepeserpun rupiah ia tinggalkan, lalu pergi dengan senyum kesenangan. Mungkin kemenangan, karena untuk kesekian kalinya dapet gratisan.
Sepertinya, Solderman sudah terbiasa dengan manusia seperti itu. Bahkan lebih parah, seperti kasus Pak Naif (bukan nama sebenarnya) si kontraktor listrik. Pak Naif datang dengan sebuah permasalahan pelik. Pak Naif gagal menangani instalasi listrik di sebuah rumah mewah di kawasan Dharmawangsa, Surabaya. Solderman dijemput dengan mobil mewah. Sesampainya di rumah itu, solderman terpana. “Loh, seharusnya ini tak perlu merusak plafon, Pak,” ujar solderman dengan nada kecewa. Pak Naif tetap ngotot dengan teori dan sertifikatnya sebagai kontraktor resmi urusan listrik di negara ini. Sembari berpura-pura mendengarkan, solderman memutar otak, mencari cara supaya bisa masuk sampai ke balik plafon, sehingga perusakan plafon tidak berlanjut. Tanpa banyak bicara, solderman pun bekerja. Semua beres, meskipun dia harus bersimbah debu dan peluh karena berjam-jam menghirup udara panas dari balik ruang plafon. Pak Naif tersenyum senang. Kesenangan yang tidak enak dipandang. Auranya menjijikan.
Sebelum pemilik rumah mewah itu datang, solderman sudah diantar pulang. Peluh dan kepandaiannya dihargai dengan sebungkus rokok, plus jasa antar jemput mobil kreditan, yang katanya mewah, milik Pak Naif. “Terimakasih ya, siapa namamu tadi, sorry aku lupa,” tanya pak Naif. “ Saya Pak. Nama saya, Parman,” jawab solderman. Setelah mobil itu berlalu, solderman tersenyum sambil menepuk jidat,”Rokok lagi rokok lagi. Kapan duitnya.”
Suatu hari solderman mendapat kabar, Pak Naif selalu memasang tarif 250 ribu per meter persegi untuk jasa membetulkan instalasi listrik. Jika pekerjaan mudah, solderman dilupakan. Jika sudah hancur, solderman menjadi solusi. Hal itu terjadi berkali-kali.
Sampai suatu pagi, aku melihat mobil Pak Naif meninggalkan desa Sambi, kecamatan Tulangan, Sidoarjo. Kali ini, Pak Naif sendirian di dalam mobil itu. Hatiku seperti melompat, aku langsung berlari ke rumah solderman. Kebetulan dia masih berdiri di teras rumah mungilnya. “Ada apa, Om?” tanyaku girang. Solderman tersenyum. “Buat apa aku kerja kalau dibayar pakek penyakit. Mending di rumah sama anak istriku. Bosan aku, Dus. Orang hidup kok dikadalin terus”
Entah mengapa aku girang. Mungkin karena Solderman sudah menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri. Dia sudah berani menolak, dan sudah mulai bisa merasakan nikmatnya menghargai diri. Satu kalimat solderman yang selalu ku ingat: "Apa yang kita kerjakan, maksimal 20 persen, sisanya adalah kerja Tuhan."
Mudah-mudahan dengan tulisan ini, Om Tedjo Suparman segera muncul di depan pintu rumahku, seperti biasa berteriak “Dus, wedus. Bukakno lawange, Dus!”
Foto by: Andre | 14 Agustus 2010
Seringkali cuma masalah selera juri dan kategori. Keduanya teraduk pekat hingga susah melihat mana yang dominan. Namun yang pasti, kekalahan bukan akhir dari udara dan sinar matahari. Seperti sebait nyanyian Joy Lobo,"...give me some sunshine, give me some rain. Give me another chance to grow up once again..." Seperti rumput liar, walaupun dicabuti dia akan tumbuh dan tumbuh lagi. Walaupun wedus gembel menghalagi sinar matahari, bukan berarti matahari berhenti bersinar.
Soal sosok pahlawan...
Ini subjektif. Bisa juga objektif, sebab setiap manusia mempunyai common sense. Pengertian dan kesepakatan bersama tentang sesuatu. Seperti kentut, semua orang sepakat bahwa secantik apapun artis, kentutnya pasti bauk. Demikian juga soal pahlawan, ada yang diakui negara ada yang tidak. Itu urusannya negara. Sebab negara yang punya kategorisasi sendiri. Lain Anda, lain pula saya. Entah mengapa, saya lebih suka sosok pahlawan yang aplikatif seperti solderman.
Siapa Solderman. Ini dia tulisan yang sempat dimuat di kompasiana...
Setiap Jumat, dia datang. Tidak tentu, kadang pagi, kadang siang. Jarak rumahnya ke rumahku sekitar empat belas kilometer, ditempuhnya dengan bersepeda. Sebuah tas pinggang ukuran sedang, selalu menggantung di pinggangnya. Isinya beragam, ada obeng, catut, timah, dan tak ketinggalan solder. Itu yang membuatku memanggilnya dengan sebutan “Solderman”.
Bulan ini, dia tidak muncul lagi. Tidak ada kabar. Agak susah berkomunikasi dengannya, sebab dia belum punya telepon. Seringkali terjadi, cukup dengan berharap dia datang, biasanya beberapa jam kemudian dia sudah teriak-teriak di depan pintu pagar rumahku. “Dus, wedus. Bukakno lawange, Dus!” (baca: Mbing kambing. Bukakan pintunya, Mbing )
Dia menjuluki aku kambing, sebab aku brewokan. “Brewok bisa menjadi lambang kemalasan dan kemiskinan, sebab tak mau bercukur dan tak mampu beli silet cukur.” Kelakar sinis itu membuat kami tertawa. Tepatnya, menertawai diri sendiri. Entah mengapa, kami suka menertawai diri sendiri. Apalagi kalau gagal mengerjakan sesuatu. Namun aku kagum pada solderman, dia begitu cermat dan telaten memelototi komponen dan ratusan kabel yang salah arah. Walapun sebuah show dangdut sedang berlangsung di lapangan, dia tidak ragu-ragu untuk memanjat sound system setinggi lima meter hanya untuk menyambung kabel yang terlepas. Tidak salah aku menyebutnya “Solderman.”
Solderman memang bukan Superman, yang bisa langsung meringkus kaki tangan Lex Luthor dengan sekali hantam. Dia juga bukan Juwita, si peri baik hati yang langsung mendatangkan tank untuk menggilas si Sirik karena suka menyebar kulit pisang di sekitar taman bermain . Solderman hanya bisa menghidupkan TV yang mati, baling-baling kipas angin berputar kembali, mengganti lampu dalam LCD yang mati suri, batere lap top jadi nonstop, dan membuat sound system makin enak di telinga.
Solderman bukan sosok pahlawan populer. Tidak pernah diberi tepuk tangan, karena dia selalu ada di balik layar, berpakaian dekil, dan tenggelam di belakang aneka alat elektronik, hanya sesekali berkeliling untuk memeriksa speaker mana yang mati.
Dulu waktu aku pertama kali ke rumahnya, ada tetangganya muncul, sembari berkacak pinggang si tetangga bilang, “ Mas, kipas ini muternya terlalu kencang. Anak saya masuk angin.” Dengan sabar, solderman memintanya menunggu. Sepuluh menit kemudian ia kembali sambil menenteng benda itu. “Silakan dicoba, Mas.” Si tetangga itupun tersenyum puas. Hanya tersenyum puas, tanpa sepeserpun rupiah ia tinggalkan, lalu pergi dengan senyum kesenangan. Mungkin kemenangan, karena untuk kesekian kalinya dapet gratisan.
Sepertinya, Solderman sudah terbiasa dengan manusia seperti itu. Bahkan lebih parah, seperti kasus Pak Naif (bukan nama sebenarnya) si kontraktor listrik. Pak Naif datang dengan sebuah permasalahan pelik. Pak Naif gagal menangani instalasi listrik di sebuah rumah mewah di kawasan Dharmawangsa, Surabaya. Solderman dijemput dengan mobil mewah. Sesampainya di rumah itu, solderman terpana. “Loh, seharusnya ini tak perlu merusak plafon, Pak,” ujar solderman dengan nada kecewa. Pak Naif tetap ngotot dengan teori dan sertifikatnya sebagai kontraktor resmi urusan listrik di negara ini. Sembari berpura-pura mendengarkan, solderman memutar otak, mencari cara supaya bisa masuk sampai ke balik plafon, sehingga perusakan plafon tidak berlanjut. Tanpa banyak bicara, solderman pun bekerja. Semua beres, meskipun dia harus bersimbah debu dan peluh karena berjam-jam menghirup udara panas dari balik ruang plafon. Pak Naif tersenyum senang. Kesenangan yang tidak enak dipandang. Auranya menjijikan.
Sebelum pemilik rumah mewah itu datang, solderman sudah diantar pulang. Peluh dan kepandaiannya dihargai dengan sebungkus rokok, plus jasa antar jemput mobil kreditan, yang katanya mewah, milik Pak Naif. “Terimakasih ya, siapa namamu tadi, sorry aku lupa,” tanya pak Naif. “ Saya Pak. Nama saya, Parman,” jawab solderman. Setelah mobil itu berlalu, solderman tersenyum sambil menepuk jidat,”Rokok lagi rokok lagi. Kapan duitnya.”
Suatu hari solderman mendapat kabar, Pak Naif selalu memasang tarif 250 ribu per meter persegi untuk jasa membetulkan instalasi listrik. Jika pekerjaan mudah, solderman dilupakan. Jika sudah hancur, solderman menjadi solusi. Hal itu terjadi berkali-kali.
Sampai suatu pagi, aku melihat mobil Pak Naif meninggalkan desa Sambi, kecamatan Tulangan, Sidoarjo. Kali ini, Pak Naif sendirian di dalam mobil itu. Hatiku seperti melompat, aku langsung berlari ke rumah solderman. Kebetulan dia masih berdiri di teras rumah mungilnya. “Ada apa, Om?” tanyaku girang. Solderman tersenyum. “Buat apa aku kerja kalau dibayar pakek penyakit. Mending di rumah sama anak istriku. Bosan aku, Dus. Orang hidup kok dikadalin terus”
Entah mengapa aku girang. Mungkin karena Solderman sudah menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri. Dia sudah berani menolak, dan sudah mulai bisa merasakan nikmatnya menghargai diri. Satu kalimat solderman yang selalu ku ingat: "Apa yang kita kerjakan, maksimal 20 persen, sisanya adalah kerja Tuhan."
Mudah-mudahan dengan tulisan ini, Om Tedjo Suparman segera muncul di depan pintu rumahku, seperti biasa berteriak “Dus, wedus. Bukakno lawange, Dus!”
Foto by: Andre | 14 Agustus 2010
ABOUTME
Hi all. This is deepak from Bthemez. We're providing content for Bold site and we’ve been in internet, social media and affiliate for too long time and its my profession. We are web designer & developer living India! What can I say, we are the best..
Blogger Comment