Keajaiban Biji Jagung
Blogger Indonesia | Setiap pulang kerja saya selalu melewati pedagang jagung yang mangkal di pinggir jalan. Penjualnya seorang laki-laki tua, bercelana safari dengan baju kain bergaris. Wajahnya tempias disinari lampu petromaks. Dia seringkali duduk, menyandarkan punggungnya di tembok kusam. Gerobaknya yang reyot menampung kedelai dan kacang rebus yang menggunung...
Suara mobil, motor dan bis yang meraung-raung tak membuatnya ikut berisik. Dia tenang menikmati aroma dari gunungan kacang tadi.
Hari itu saya melewatinya lagi...
Entah kenapa saya berpikir untuk kembali, “Jagung, tiga pak,” saya berkata pelan. Bapak tua itu mengambil jagung dengan cepat, memasukkannya ke dalam kresek lalu mengikat ujungnya. Setelah membayar, saya segera pergi, meninggalkan bapak itu kembali kedalam keheningannya.
Sesampainya di rumah,...
Sesampainya di rumah,...
saya membuka kresek itu, mengeluarkan jagung yang masih panas lalu mengupas kulitnya. Bijinya kuning berderet rapi seperti gigi manusia. Satu sama lain berhimpit-himpitan, berdesak-desakan tetapi tidak saling berebut berusaha menguasai ruangan biji yang lain. Saya langsung memakannya, tiba-tiba ada beberapa biji yang melompat dari dalam mulut. Saya mengambil satu, hanya sebesar kuku, ujungnya hangat dan tajam.
“Oh ini to asal mulanya jagung,”
“Oh ini to asal mulanya jagung,”
saya ngomel-ngomel sendiri. “ Kok bisa ya jadi banyak.” Saya rasa banyak keajaiban dalam proses penciptaan jagung ini. Ada sesuatu yang menambahkan, mungkin setiap malam cacing tanah sibuk menempel biji-biji, atau semut-semut yang menyirami jagung itu sewaktu para petani terlelap. Sudahlah, yang patut diingat bahwa selalu saja ada misteri. Yang menyenangkan, yang menantang.
Mungkinkah hidup saya serupa jagung...
Mungkinkah hidup saya serupa jagung...
Yang mulanya hanya karena sebuah biji lalu berkembang menjadi banyak dan penuh. Yang berderet-deret, berdesak-desakan menjadi harmoni. Dan indah pada akhirnya. Hmmm, seperti rangkaian pikiran, yang menjadi tindakan, kebiasaan, karakter lalu berujung pada nasib.
Seperti ketika pagi hari berpikir bahwa hari ini sepertinya menjengkelkan...
Seperti ketika pagi hari berpikir bahwa hari ini sepertinya menjengkelkan...
lalu bekerja setengah-setengah, terus-menerus, bertahun-tahun dan menjadi pribadi pemalas, dipecat dari pekerjaan, jatuh miskin lalu menyalahkan hidup,” Nasib buruk, ini takdir.” Atau setiap hari bangun dengan impian akan kebahagiaan, bekerja sungguh-sungguh, senantiasa tersenyum ketika bertemu orang lain, bersemangat, mendapat rejeki karena menjadi pribadi yang penuh totalitas dalam bekerja, bertahun-tahun, membentuk citra positif di mata orang lain, mendapatkan kesejahteraan melimpah, lalu berkata, “ Nasib baik, ini takdir”
Ya, itu memang takdir. Takdir yang aku ciptakan sendiri. Dari sebuah biji yang jatuh ke tanah.
Semesta menyebutnya: pikiran.
Ya, itu memang takdir. Takdir yang aku ciptakan sendiri. Dari sebuah biji yang jatuh ke tanah.
Semesta menyebutnya: pikiran.
written by:
Albertus Indratno
ABOUTME
Hi all. This is deepak from Bthemez. We're providing content for Bold site and we’ve been in internet, social media and affiliate for too long time and its my profession. We are web designer & developer living India! What can I say, we are the best..
Blogger Comment