Kisah ini cocok untuk blogger Indonesia yang lagi nggak pede - Pak Jo namanya, sopir, separuh baya. Dia pernah berkata,” Kalau di terminal jadi teman tapi kalau di jalan sendiri-sendiri.” Saya merasa dia begitu tega. Lalu, dia melanjutkan,” Kalau keluarga saya kelaparan cuma saya yang bisa menolong,” katanya. “Ya, siapa lagi.” Dia menegaskan bahwa pertemanan dan urusan perut seperti tidak bisa disatukan. 

Malam itu bis memasuki Saradan, Jawa Timur. Saya duduk di samping pak sopir, sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang dan lampu yang menyala seperti kunang-kunang. Kata-kata Pak Jo terus mengiang. Ada yang aneh dan terasa menggelisahkan.
 

Sebelumnya, saya merasa teman adalah sandaran hidup, kekuatan sekaligus pendukung yang sejati. Benar! Saya beruntung menemukan orang-orang terbaik yang selalu ada di setiap saat. Mereka selalu memiliki ruang di hati dan pikiran saya. Dan itu akan tetap sama.
 

Namun, menjadikan mereka pegangan hidup adalah kesalahan besar. Teman dapat berubah, pindah rumah, meninggal bahkan mengkhianati. Lalu, siapa saya jika tidak memiliki pegangan? Ya, saya bukan siapa-siapa.
 

Hanya diri sendiri yang paling setia. Badan dan jiwa hanya terpisah ketika mati. Selebihnya kedua benda itu selalu bersama dan saling membantu. Pernahkah tanganmu menempeleng pipi, menjambak rambut atau mencubit tangamu sendiri? Orang lain yang melakukannya, bukan?
 

Percayalah, diri sendiri adalah kekuatan terbesar: yang terdekat sekaligus sering dilupakan.